Jumat, 19 September 2014

Jurnalistik

HARDNEWS
Harga BBM naik Rp 1.000, banyak infrastruktur bisa dibangun
Merdeka.com - Bank Indonesia terus mendorong pemerintahan baru yang dikomandoi presiden terpilih Joko Widodo dan wakil presiden terpilih Jusuf Kalla untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Dana yang bisa dihemat jika kebijakan itu diambil, diperkirakan mencapai Rp 30 triliun.
Dengan menaikkan harga BBM subsidi, anggaran yang berhasil dihemat bisa dialihkan ke sektor produktif, salah satunya infrastruktur.
Untuk itu pemerintah terus didesak untuk menaikkan harga BBM bersubsidi. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.000 per liter saja, banyak infrastruktur yang bisa terbangun. Salah satunya jalur kereta.
"Untuk bangun jalur kereta hanya butuh Rp 9,8 triliun," ujar Pengamat Ekonomi UGM Denni P Purbasari di kantor GP Anshor, Jakarta, Jumat (19/8).
Dia menyebut, dengan anggaran Rp 9,8 triliun bisa membangun jalur kereta sepanjang 436 kilometer (km) dan bisa selesai hanya dalam janmkgka waktu 2 tahun.
"Itu jalurnya sudah seperti dari Cirebon hingga Surabaya. Ini bisa dibangun di Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Kita kan juga butuh trans Sumatera, kenapa tidak bangun itu," jelas dia.
Tidak hanya itu, anggaran subsidi juga dapat digunakan untuk membangun banyak pembangkit listrik di Indonesia. "Pembangkit listrik itu cuma butuh Rp 1 triliun, itu 5 tahun lalu. Kalau sekarang anggap saja Rp 1,5 triliun hingga Rp 2 triliun. Itu sudah yang panas bumi, sudah hemat solar, tidak butuh BBM tetapi bisa menerangi seluruh Indonesia," ungkapnya.
(mdk/noe)

Sumber: m.merdeka.com/uang/harga-bbm-naik-rp-1000-banyak-infrastruktur-bisa-dibangun.html

SOFTNEWS


Hingga H+1, Jumlah Penerbangan Domestik Meningkat

RABU, 22 AGUSTUS 2012 | 15:59 WIB

TEMPO.COJakarta - Kementerian Perhubungan menyatakan jumlah penerbangan rute dalam negeri sejak H-7 hingga H+1 Lebaran 2012 ini meningkat dibanding periode yang sama pada 2011. 

"Peningkatan sebesar 12,53 persen untuk jumlah penumpang penerbangan dalam negeri," kata Ketua Harian Shift II Posko Tingkat Nasional Angkutan Lebaran Terpadu Kementerian Perhubungan, Adolf R. Tambunan, dalam laporannya, Rabu, 22 Agustus 2012. Hingga H+1 Lebaran ada sebanyak 1.661.913 penumpang. Pada tahun lalu, hingga H+1 Lebaran, tercatat ada 1.476.892 penumpang. 

Tak seperti rute dalam negeri, jumlah penumpang untuk penerbangan internasional menurun 0,32 persen. Tahun lalu, jumlah penumpang penerbangan internasional mencapai 324.713 orang. Pada tahun ini, sampai H+1 Lebaran, jumlah tersebut berkurang menjadi 323.664 orang.

Pada H+1 Lebaran tahun ini, jumlah penumpang domestik di 19 bandara meningkat 13,3 persen. Ada 138.060 penumpang domestik pada H+1 Lebaran yang bepergian melalui 19 bandara. Tahun lalu, jumlah penumpang pada periode yang sama tercatat 121.850 orang.

Kenaikan jumlah penumpang tertinggi untuk rute domestik terjadi pada H-1 Lebaran tahun ini, yaitu 22,85 persen. Pada H-1 Lebaran tahun 2011, penumpang penerbangan domestik sebanyak 145.792 orang. Jumlah tersebut naik menjadi 179.112 orang pada H-1 Lebaran tahun ini.

Seperti rute penerbangan dalam negeri, jumlah penumpang rute internasional pun mengalami peningkatan, yaitu sebanyak 15,84 persen. Dari tiga bandara, jumlah penumpang rute internasional pada H+1 Lebaran naik dari 17.000 orang menjadi 19.693 orang. 

Persentase kenaikan jumlah penumpang dengan rute internasional pada H+1 Lebaran menjadi yang tertinggi sejak H-9 Lebaran tahun ini.
 
MARIA YUNIAR


Sumber:ramadan.tempo.co/read/news/2012/08/22/151424900/Hingga-H1-Jumlah-Penerbangan-Domestik-Meningkat

PARAGRAF FAKTA

Dalam rangka memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 11 Direksi PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk mengajar secara serentak di 11 sekolah menengah atas (SMA) di seluruh Indonesia. Kegiatan ini juga merupakan dukungan atas
Gerakan Direksi Mengajar yang dicanangkan oleh Kementerian BUMN. Para direksi tersebut mengajar di sekolah yang dulunya merupakan tempat para direksi pernah mengenyam pendidikan SMA atau sekolah yang telah ditentukan oleh BRI
Sumber: kompas.com

PARAGRAF OPINI


Urbanisasi di Indonesia

Saratri Wilonoyudho

DUA hari berturut-turut (15 dan 16 April) Kompas menyajikan dua tema menarik tentang pertumbuhan kota di Jawa yang mengarah kepada megapolitan, seperti Jabodetabekjur, Bandung Raya, Kedung Sepur, dan Gerbangkertasusila. Megapolitan yang membentang dari arah barat sampai timur diperkirakan akan ”menyatu” sehingga Jawa akan menjadi pulau kota. Kecenderungan serupa juga terjadi di seputar Kota Medan, Palembang, Makassar, dan sebagainya.

Data Badan Pusat Statistik (1995 dan 2005) menunjukkan, proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin besar, 22,3 persen pada 1980 menjadi 30,9 persen pada 1990 dan 43,11 persen pada 2005. Yang menjadi masalah, urbanisasi ini akan menimbulkan berbagai efek negatif, seperti terkikisnya lahan- lahan subur di sekitar kota besar (spread effect), dan permasalahan dalam kota, seperti kemacetan lalu lintas, degradasi lingkungan, sanitasi, dan banjir.

Ditinjau dari letak pulau, maka di Pulau Jawa proporsi penduduk perkotaan mencapai angka 70 persen dan di Luar Jawa hanya 26 persen. Angka tersebut relatif konstan hingga saat ini.

Kota yang didominasi jumlah penduduk yang besar adalah Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang. Indeks primasi Jakarta terhadap empat kota besar lain juga masih tinggi, yakni 0,56 pada 1980 dan 0,58 pada 1990, dan menurun menjadi 1,41 pada 2005.

Pola-pola keruangan di Jawa masih mengarah kepada bentuk koridor, misalnya koridor Jakarta-Semarang melalui Cirebon, Semarang-Yogyakarta, dan Surabaya-Malang.

Kota-kota kecil di antara dua kota besar atau lebih pada umumnya hampir menyatu sehingga boleh dikatakan kota-kota kecil tersebut perannya melemah. McGee menyebutnya sebagai fenomena ”desa-kota”, dan fenomena ini dapat diamati dalam kerangka region-based urbanization dan bukannya sebagai city based.

Kesenjangan

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan kewilayahan, meningkatnya urbanisasi terkait dengan isu, terutama terkait dengan masalah ”kesenjangan wilayah” (regional imbalances).

Banyak indikator yang digunakan untuk memperlihatkan bahwa sebuah wilayah dianggap lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang lainnya.
Hill (1993), misalnya, menyebut indikator yang bersifat statis, seperti Indeks Pembangunan Manusia (human development index), Indeks Kualitas Kehidupan secara Fisik (physical quality of life index), dan laju produk domestik regional bruto (PDRB).

Dari uraian itu tampak bahwa pembangunan kewilayahan terkait erat dengan sistem ekonomi-politik sebuah negara. Hal ini juga disepakati oleh Hill (1996), bahwa dengan kebijaksanaan pusat akan terjadi sebuah keputusan untuk mengembangkan wilayah mana saja, dan akan ”mengorbankan” wilayah yang lain. Pada masa Orde Baru, untuk mengembangkan sebuah wilayah dianut konsep kutub pertumbuhan.

Konsep ini, menurut Douglass (1998), dilakukan dengan jalan mengalokasikan investasi yang tinggi di sektor industri di pusat kota yang besar. Harapannya, pertumbuhan ekonominya dapat menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan trickle down effect). Asumsinya, barang-barang yang dihasilkan diekspor ke luar dan pusat-pusat metropolitan untuk menjadi ”mesin pembangunan” (engine of development).

Konsep kutub pertumbuhan mengasumsikan bahwa dengan industrialisasi diharapkan akan muncul peluang kerja dan mampu menampung luapan kerja dari sektor pertanian.

Di negara-negara berkembang diasumsikan ada produk pertanian yang dapat dipacu produktivitasnya sehingga akan memperluas kesempatan kerja dan pendapatan. Dari titik inilah diharapkan tumbuh usaha kecil menengah usaha farm, ada pergerakan modal, ada kredit, dan teknologi dengan riset.

Tidak cocok

Dalam kenyataannya, strategi kutub pertumbuhan ini tidak cocok di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena ada dualisme antara sektor pertanian dan industri. Pada satu sisi sektor pertanian lahannya,− terutama di Jawa, −sangat sempit karena ada fragmentasi atau pewarisan.

Pada sisi lain, sektor industri sangat padat modal dan berorientasi kepada substitusi impor. Teori-teori dari Boeke (1961) tentang dualisme sektor ekonomi ataupun dari Geertz tentang involusi pertanian banyak menjelaskan tentang kemiskinan dan peluang kerja di pedesaan.

Dari sketsa tersebut tampak bahwa kalau negara-negara maju mengalami proses yang simultan antara sektor pertanian dan sektor modern, maka negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak demikian.

Di negara-negara berkembang—kecuali Tiongkok—industri yang dikembangkan adalah industri substitusi impor, dan pusat kapitalisme tetap ada di New York, Berlin, London, atau Tokyo. Wajar jika modernisasi pertanian terhambat dengan serius. Bahkan untuk urusan kedelai atau gula, negeri ini harus impor.

Sebagai penutup, kesenjangan wilayah harus dipecahkan dengan konsepsi kuat untuk jangka waktu yang panjang, yang dilandasi keadilan sosial.

Daerah-daerah yang kurang berkembang didorong dengan mobilisasi seluruh kelembagaan, dengan kemampuan aparatur daerah yang terampil dan memiliki visi-misi ke depan yang jelas. Kesemuanya mestinya dijalankan dalam sebuah jaringan (networking) yang erat.

Masalahnya, bangsa ini banyak dijejali pejabat dan kepala daerah yang bermental pedagang, yang kurang bergairah mengembangkan wilayahnya. Kegemaran impor berbagai komoditas merupakan indikatornya.

Saratri Wilonoyudho, Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar